Ketidakpastian pekerja outsourcing untuk bekerja, mendapat
imbalan, serta perlakuan layak di perusahaan tempatnya bekerja dinilai
melanggar konstitusi atau inkonstitusional. Hal ini disampaikan dalam
putusan Mahkamah Konsitusi (MK), Selasa (17/1).
Hakim MK Achmad Sodiki menilai aturan outsourcing
tidak memberi jaminan bagi pekerja seperti tertuang dalam hukum
perburuhan, yaitu untuk melindungi pekerja atau buruh. Hal inilah yang
diabaikan dalam sistem outsourcing.
Sodiki menjelaskan kalau sistem outsourcing
membuat pekerja kehilangan hak-hak jaminan kerja yang dinikmati pekerja
tetap. Pekerja kontrak borongan, paparnya, kehilangan fasilitas yang
seharusnya diterima sesuai masa kerjanya, karena ketidakjelasan
penghitungan masa kerja. Adapun pengusaha yang mempekerjakan pekerja
kontrak lebih efisien, ditinjau dari keuangan perusahaan. Soalnya,
perusahaan tidak perlu memberi fasilitas sesuai Undang-Undang (UU) Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Atas dasar itu, Sodiki
menilai asas ketidakadilan sangat terlihat dengan berlakunya aturan
tersebut. MK menilai UU Ketenagakerjaan Pasal 65 dan Pasal 66 mengenai
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
akibat sistem kontrak, menyebabkan para pekerja kehilangan jaminan atas
kelangsungan kerja.
Dengan demmikian, lanjut hakim konstitusi ini,
MK meegaskan bahwa UU Ketenagakerjaan Pasal 65 Ayat 7 Pasal 66 Ayat 2
Huruf b bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28D Ayat 2 . Pasal-pasal itu
yang mengatur tentang hak mendapat imbalan, perlakukan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja. “Mengabulkan permohonan pemohon untuk
sebagian,” ujar Sodiki saat membacakan amar putusan di gedung MK, Selasa
(1/17).(reff:yahoo)